Total Tayangan Halaman

Senin, 02 September 2013

Tugas untuk kelas 7G dan 7H

Untuk tugas ini kalian kerjakan di buku tulis kalian. cukup dengan menjawab hasilnya saja. Soalnya dapat kalian download di sini 

Minggu, 10 Februari 2013

Valentine


Menyambut Valentine Day
“Survey Assumption University di Thailand. Sepertiga dari 1.578 gadis usia belasan berencana melakukan hubungan seks di Hari Valentine bila pacar mereka memintanya.”. “Menurut (kompascommunity.com, 14/02/07), Survey lain oleh Universitas Thai terhadap 1.222 pemudi menemukan bahwa 11 persen dari mereka berencana menyerahkan keperawanannya pada malam valentine. Parah gak?” “Dan lebih mengejutkan lagi,” “Di dalam negeri, survei terhadap remaja Cimahi, Batujajar, Padalarang, dan Lembang menjelang Valentine Day tahun 2004. Hasilnya, dari 413 responden yang menjawab angket secara “sah” 26,4% di antaranya mengaku lebih suka merayakan Valentine Day bersama gebetan atau kekasih dengan jalan-jalan, makan-makan lalu berciuman (melakukan seks).” Sejarah asal mula VD berasal dari Perayaan Lupercalia, yaitu rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Selain itu, sejarah juga menyebutkan bahwa valentine berasal dari kebudayaan romawi. Kerajaan Romawi, yang dipimpin Kaisar Claudius II sekitar Abad III masehi. Dia menangkap dan memenjarakan seorang pendeta yang bernama Valentine hingga ia meninggal tanggal 14 Pebruari 270 Masehi. Dia dipenjara karena melanggar perintah kaisar untuk tidak menikahkan pemuda pada zaman itu. Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani. Pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari. Jadi jelas ini bukan dari budaya Islam. VD adalah kebudayaan kufur yang bisa membuat orang yang merayakannya menduakan Allah SWT. Kata Valentine berasal dari Latin yang berarti “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa” untuk Nimrod dan Lupercus, Tuhan orang Romawi. Jadi, ketika kita mengatakan ‘to be my Valentine’ berarti memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa, Oleh karena itu budaya Valentine sama halnya menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Sungguh sangat mengerikan. Jangan kita terjebak dengan budaya yang menyesatkan ini. Jelas VD berasal dari kebudayaan asing yang justru akan menjerumuskan ke lembah syetan. Sekarang ini dikalangan kita ada kesalahpahaman dalam memaknai “kasih sayang”. Kasih = memberi, sayang=cinta. Akibatnya adalah banyak remaja yang rela memberikan apapun kepada orang yang dia cinta, termasuk dengan melakukan hubungan suami istri. Banyak fakta di lapangan yang menunjukkan tentang perilaku remaja yang bermasalah. Salah satunya apa yang terdapat pada tas pelajar yang masih duduk di bangku SMP. Ternyata ada di antara mereka membawa kondom dan dengan “enteng”nya mereka mengatakan bahwa kondom itu akan digunakan jika sewaktu-waktu pacarnya minta "berhubungan". Naudzubillah. VD sebentar lagi. Yang pasti gaung perayaannya sudah diiklankan pada semua media. Bagaimana dengan kita? []

Kamis, 03 Januari 2013

Menimbang Perayaan Tahun Baru

Untung Rugi Perayaan Tahun Baru
Tahun baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Pada mulanya perayaan ini dirayakan oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.

Januari dijadikan sebagai awal tahun karena diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.

Tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Salah satu contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.

Begitulah, tahun baru di beberapa tempat dalam perjalanannya identik dengan kebudayaan yang berkaitan dengan akidah (keyakinan) tertentu. Bahkan kini -di Barat khususnya- tahun baru identik dengan budaya hura-hura dan seks bebas.

Memang bagi orang yang tidak memiliki keyakinan dan aturan tertentu, sah-sah saja melakukan kegiatan apapun termasuk perayaan tahun baru. Namanya saja tidak punya keyakinan dan aturan. yo wis, sak karepe, sak penake sing penting senang.

Tapi bagi yang punya aturan dan keyakinan tertentu, tunggu dulu. Bagi seorang muslim misalnya, merayakan tahun baru Masehi sebenarnya merupakan aktivitas terlarang. Sebab, perayaan tahun baru merupakan bentuk kebudayaan (hadlarah) dari luar Islam.

Semua bentuk perayaan tersebut jelas-jelas merupakan tindakan penyimpangan terhadap akidah dan syariah yang diturunkan Allah SWT. Perayaan tahun baru adalah budaya yang dimiliki oleh kaum di luar Islam.

Namun kenyataannya saat ini kaum muslim latah ikut-ikutan merayakan, atau membesarkannya meski dengan sekedar ucapan selamat tahun baru, atau bersuka ria memadati tempat-tempat hiburan khususnya pada malam pergantian tahun.

Kaum muslim memang menggunakan kalender Masehi yang notabene menjadi patokan penanggalan internasional. Namun bukan berarti kaum muslim layak membesarkan atau merayakan pergantian tahun. Sebab, merayakan hari pergantian tahun (tanggal 1 Januari) sudah identik dengan budaya tertentu. Identitas ini tidak bisa hilang hanya karena kaum muslim menggunakan kalender tersebut. Sebab, bagi muslim pergantian tahun tidak bernilai apa-apa selain bergantinya waktu (dari tanggal 31 Desember menjadi 1 Januari). Syara’ tidak memandang adanya keutamaan pada tanggal tersebut. Maka, mengapa mereka menganggap bahwa kehadiran 1 Januari adalah masa spesial yang menuntut perayaan.

Sesunguhnya, yang terjadi adalah infiltrasi budaya kufur di tengah-tengah kaum muslim. Dan kini, sebagian besar muslim telah benar-benar terseret dalam budaya kufur tersebut. Mereka tidak merasa bahwa perayaan tahun baru adalah hadlarah (budaya) asing. Bahkan mereka menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.

Sebagian lagi beranggapan bolehnya merayakan tahun baru asal tidak melakukan perbuatan terlarang, seperti seks bebas, pesta miras, ugal-ugalan di jalan dan sejenisnya. Pandangan seperti ini tentu saja keliru. Inilah bentuk keberhasilan musuh-musuh Islam dalam menggiring kaum muslim agar terjatuh dalam budaya asing. Mereka berhasil menggeser makna perayaan tahun baru yang sebenarnya sudah identik dengan budaya tertentu, dengan ajakan halus bernuansa kemanusiaan. Tanggal 1 Januari berhasil dipaksakan sebagai hari raya internasional.

Padahal, sebuah kebudayaan (hadlarah) -yang terikat dengan pandangan atau akidah tertentu- selamanya akan mengikat bagi pemeluknya. Demikian pula dengan perayaan 1 Januari, ia tetap lekat dengan budaya kaum merayakan di awal kelahirannya. Oleh karena itu, kaum muslim yang merayakan tahun baru meski dengan aktivitas yang mubah hakikatnya telah terperangkap pada hadlarah asing.

Sesungguhnya Syariah Islam tidak mengajarkan perayaan selain pada dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha

Rasulullah Saw bersabda :

“Sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini (Idul Adhha dan Idul Fitri) adalah hari raya kita” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.).

Dalam hadist lain, dari Anas bin Malik ra. beliau berkata : Rasulullah Saw. tiba di Madinah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, ”Dua hari apa ini?” Mereka menjawab, ”Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah.” Rasulullah Saw. bersabda :
”Sesungguhnya Allah telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhha dan idul fithri.” [Shahih riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, an-NasaĆ® dan al-Hakim.]

Dengan demikian tanggal 1 Januari tidak layak mendapatkan pengagungan, apalagi perayaan, meski hanya dengan ucapan selamat. Sebab, semua aktivitas tersebut adalah bentuk kegembiraan atas momentum tertentu yang tidak disyariatkan. Terlebih, tanggal 1 Januari sudah identik dengan budaya di luar Islam.

Rasulullah Saw. juga pernah bersabda : ”Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud). Hadits ini sekaligus memperingatkan agar kaum muslim menjauhkan diri dari kebiasaan kaum di laum Islam.

Dengan demikian, perayaan, kegembiraan, ucapan selamat dan sejenisnya yang dilakukan semata-mata karena hadirnya 1 januari adalah bentuk pengekoran terhadap budaya di luar Islam. Kaum muslim haram melakukannya. Apa yang terjadi saat ini menjadi bukti kebenaran sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah r.a , Rasulullah saw bersabda:

“Hari kiamat tak bakal terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persi dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR. Bukhari no. 7319)

Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk memerangi budaya kufur dan berjuang menegakkan khilafah Islamiyyah yang akan membentengi umat dari semua bentuk serangan budaya kufur. Aamiin.

Sebagai penutup, perlu diingat kembali bahwa kita di dunia ini adalah sedang mengumpulkan bekal kebaikan yang akan kita bawa untuk perjalanan selanjutnya, yaitu akhirat. Kebaikan itu sudah ada ketentuannya dari yang membuat hidup. Yang tidak sesuai dengan ketentuan tentu akan ditolak, tidak akan mendapat balasan, tapi justru hukuman.

Bagaimana ?!!